Sunday, September 10, 2023

Sejarah Perjuangan Wali Songo Sebagai Penyebar Agama Islam di Nusantara

Di posting ini kami akan berbagi info mengenai sejarah singkat perjuangan para waliyullah anggota Wali Songo sebagai penyebar ajaran agama Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Semua sumber tulisan terkait sudah ditulis di bagian paling bawah. Sebelum ke inti pembahasan, ada baiknya mengetahui arti kata dari Wali Songo.

Wali Songo

Kata 'Wali' berasal dari bahasa Arab yang artinya orang yang dipercaya untuk melaksanakan tugas. Sedangkan kata Songo, berasal dari bahasa Jawa yang artinya sembilan. Jadi, Wali Songo diartikan sebagai sembilan orang terpercaya yang diberi tugas, yakni menyebarkan ajaran Islam.

Wali Songo mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di nusantara. Perjuangan para wali bukan tanpa kendala, namun karena disertai pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala, akhirnya ajaran Islam-pun tersebar. Para wali berdawah secara perlahan-lahan tanpa mengganggu tradisi dan budaya daerah setempat saat itu.


Kesembilan wali tersebut oleh masyarakat selalu dikaitkan dengan gelar Sunan. Kata 'sunan' atau susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi atau bermakna paduka yang mulia. Ada juga yang mengatakan 'sunan' berasal dari kata "suhu nan" yang artinya guru besar atau orang yang berilmu tinggi. Kesembilan waliyullah tersebut adalah:
  1. Sunan Gresik
  2. Sunan Ampel
  3. Sunan Bonang
  4. Sunan Drajat
  5. Sunan Kudus
  6. Sunan Giri
  7. Sunan Kalijaga
  8. Sunan Muria
  9. Sunan Gunung Jati
Berikut ini adalah sejarah singkat mengenai ke sembilan wali tersebut saat menyebarkan agama Islam di Indonesia.

SUNAN GRESIK
Sunan Gresik dikenal dengan sebutan Syekh Maulana Malik Ibrahim dan juga dikenal sebagai Syekh Maulana Maghribi. Beliau adalah wali pertama yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, yakni ketika Kerajaan Majapahit masih berdiri sekitar tahun 1379 M

Beliau adalah Pemimpin Wali Songo generasi pertama dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Desa Sembalo yang saat itu masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, merupakan wilayah yang pertama kali menjadi tujuan penyebaran agama Islam.

Makam Syekh Maulana Maghribi

Sunan Gresik wafat pada tahun 1419 M. Makam tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa ini setiap harinya banyak dikunjungi para peziarah yang bukan saja dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.. 

Beberapa sumber menginformasikan, bahwa makam beliau terletak di beberapa tempat yang semuanya asli. Bisa saja orang yang berbeda, tetapi memiliki nama yang sama, lalu diyakini sebagai makam beliau. Di antara makamnya berlokasi di Cirebon, Gresik, dan Parangtritis.

Terlepas dari beberapa pendapat masyarakat dan bukti sejarah, apapun bisa terjadi kalau Allah Subhanahu wa Ta'la menghendaki, terlebih kepada orang-orang sholeh seperti waliyulloh. Wallahu alam bish-showab.

SUNAN AMPEL
Nama asli Sunan Ampel adalah Ahmad Rahmatulloh, atau dikenal juga dengan sebutan Raden Rahmat. Beliau adalah salah satu tokoh Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-15. Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 M di Kerajaan Champa, tepatnya di Kota Phan Thiết, Vietnam. Menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie diketahui, Champa merupakan salah satu kerajaan kuno yang terletak-di Vietnam.

Sunan Ampel adalah putra-dari pasangan Syekh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandi dengan Dyah Candrawulan, dan masih keturunan dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di kota Demak, dan dimakamkan di dekat Masjid Ampel Surabaya, tepatnya di Kelurahan Ampel Semampir Surabaya.

Makam Sunan Ampel

Di sekitar makam Sunan Ampel terdapat sejumlah gapura yang memiliki ornamen dan ukuran yang berbeda-beda. Gapura-gapura itu juga dijuluki sebagai gapuro limo atau lima gapura. Pemaknaan gapura ini adalah sebagai simbol dari rukun Islam. 

Beliau berwasiat kepada umat dimana wasiatnya dikenal dengan istilah malima, yaitu melarang berjudi, mencuri, mabuk, memakai narkoba, serta berzina.

Mengingat sejarah panjang perjuangan beliau dalam penyebaran agama Islam, sampai saat ini makamnya selalu-padat dikunjungi para wisatawan dari berbagai kota di Indonesia terlebih di bulan suci Ramadhan.

SUNAN BONANG
Sunan Bonang dilahirkan pada abad ke 14 akhir di Rembang dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau adalah putra dari Raden Ali Rahmatullah Sunan Ampel bin Syekh Ibrahim Asmaroqondi. Nama asli kakeknya adalah Ibrahim Al-Ghazi bin Jamaluddin Husein, ia adalah ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari daerah Samarkand Uzbekistan.

Dari garis keturunan ibunya, beliau adalah putra Dewi Candrawati atau disebut Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja yang merupakan seorang Adipati Tuban semasa Kerajaan Majapahit. Sunan Bonang sendiri adalah salah satu tokoh Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Makam Sunan Bonang

Sunan Bonang ditunjuk sebagai imam pertama masjid Demak yang bergelar Imam Guru Suci. Keberhasilan dakwahnya dibantu oleh Sunan Kalijaga yang memberi warna lokal pada upacara keagamaan seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, dan peringatan Tahun Baru Islam. 

Sunan Bonang dikenal tidak hanya cerdik dan fleksibel dalam berdakwah. Menurut masyarakat Jawa, beliau juga dikenal memiliki karomah yang hebat. Beliau berhasil menciptakan asimilasi budaya manusia yang lebih beradab dan tidak meninggalkan ciri asli budaya Jawa.

Sunan Bonang merupakan guru Raden Patah, putra Raja Brawijaya V Majapahit dan guru para wali seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1525 M. Lokasi makamnya berada di Dukuh Kauman Kelurahan Kutorejo Tuban Jawa Timur.

Setiap harinya makam Sunan Bonang banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian bermaksud untuk berjiarah, sebagiannya lagi sekedar berwisata untuk melihat langsung bukti sejarah tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa.

Ada beberapa pendapat dan bukti lain bahwa makam beliau tidak hanya satu, tetapi ada di dua lokasi lainnya. Masalah seperti ini tentu bukan masalah besar yang perlu diperdebatkan, karena apapun bisa terjadi jika Allah SWT menghendaki.

SUNAN DRAJAT
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 M. Nama kecilnya adalah Raden Qosim yang kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dan bersaudara dengan Sunan Bonang yang terkenal dengan kecerdasannya.

Sebagai tokoh Wali Songo, Sunan Drajat pertama kali menyebarkan agama Islam di Desa Drajat Kecamatan Paciran, Lamongan Jawa Timur. Dalam dakwahnya beliau memelopori orang-orang kaya dan para bangsawan untuk mengeluarkan zakat, infak, dan shodaqoh untuk fakir miskin.

Hal ini sesuai dengan kata-kata mutiara ciptaanya yang mengandung arti, "Berilah tongkat kepada orang buta", "Berilah makan kepada orang yang kelaparan", "Berilah keteduhan kepada orang yang kehujanan", dan " Berilah pakaian kepada orang yang telanjang".

Makam Sunan Drajat

Atas keberhasilannya dalam penyebaran agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan, maka Sunan Drajat diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah Sultan Demak. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran Lamongan. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.

Gamelan Singo Mengkok adalah salah satu peninggalan Sunan Drajat berhiaskan ukiran bergambar Singa Mengkok. Alat musik tradisional Jawa ini merupakan salah satu pelopor adanya alat musik Gamelan abad 18.

Peninggalan Sunan Drajat yang terkenal lainnya adalah karya tembang yang disebut Tembang Pangkur. Ini merupakan buah asimilasi antara karya beliau dan sastra Tembang Macapat Jawa. Isi dari Tembang Pangkur itu sendiri adalah ajaran Al Qur’an.

Sejumlah peninggalan Sunan Drajat masih tersimpan di komplek makamnya di Lamongan. Sebagiannya-lagi disimpan di museum Sunan Drajat yang letaknya tidak jauh dari makam. Setiap harinya banyak pengunjung yang datang ke makam beliau untuk berziarah, sebagiannya lagi untuk berwisata sekaligus mengunjungi museum Sunan Drajat karena lokasinya tidak jauh dari makam.

SUNAN KUDUS
Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh Wali Songo yang berjasa besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Beliau adalah seorang wali yang sangat dikenal dengan sikap toleransinya yang tinggi terhadap sesama.

Sunan Kudus adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung dan Siti Syarifah yang lahir pada abad ke-14. Sunan Ngudung sendiri adalah salah satu putra Sultan dari Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha, sedangkan Siti Syarifah adalah Putri Sunan Ampel.

Beliau yang memiliki nama asli Sayyid Jafar Shodiq Azmatkhan dilahirkan dari keluarga bangsawan Demak. Jalur keturunannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, melalui jalur Husain bin Ali bin Abu Tholib.

Makam Sunan Kudus

Perjuangan dakwahnya selalu mengedepankan cara-cara yang halus dan sikap yang tenang. Tujuannya, agar masyarakat saat itu bisa menerima ajaran Islam secara sukarela dan tidak terpaksa.

Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550 M dalam keadaan sujud, yaitu saat menjadi imam shalat subuh di Masjid Menara Kudus. Beliau dimakamkan di area Masjid Menara Kudus tepatnya di belakang bangunan utama masjid.

Makam Sunan Kudus adalah salah satu destinasi religi yang sering dikunjungi para wisatawan. Lokasinya sangat strategis dan mudah terjangkau, yakni di Gang Kauman Pejaten kabupaten Kudus Jawa Tengah. Pengunjung yang datang bukan saja di siang hari, tetapi di malam hari pun masih terlihat padatnya pengunjung dari berbagai kota di Indonesia.

Tidak semua pengunjung yang datang bermaksud untuk berziarah ke makam waliyullah Sunan Kudus. Diantara mereka ada yang sekedar berwisata untuk melihat suasana malam di tempat bersejarah ini. Ada juga yang hanya mampir untuk melaksanakan ibadah salat karena memang lokasinya berdekatan dengan masjid.

Peninggalan Sunan Kudus yang terkenal adalah sebuah pesan bermakna, yaitu permintaan kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi saat perayaan Idul Adha. Tujuannya, untuk menghormati penganut agama Hindu dan menggantinya dengan kurban kerbau. Pesan ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

SUNAN GIRI
Sunan Giri adalah salah satu tokoh Wali Songo dan pendiri Kerajaan Giri Kedaton yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Giri Kedaton dibangun sebagai pusat penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan yaitu Raden Paku, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yakin dan Joko Samudro. Beliau lahir di Blambangan pada tahun 1442 M dari pasangan Syekh Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Syekh Maulana Ishaq sendiri adalah mubaligh Islam dari Asia Tengah putra Syekh Jumadil Kubro, sedangkan Dewi Sekardadu adalah putri Prabu Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada masa akhir Majapahit. 

Sunan Giri menggunakan kesenian dan unsur budaya dalam penyebaran Islam. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni sesuai ajaran Rasulullah melalui pendekatan seni budaya, membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya.

Makam Sunan Giri

Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M dan dimakamkan di atas bukit dalam cungkup berarsitektur khas Jawa yang sangat unik. Tepatnya di Dusun Giri Gajah, Desa Giri Kecamatan Kebomas, Kota Gresik Jawa Timur. 

Mengingat sejarah perjuangan beliau saat menyebarkan agama Islam di Nusantara, kini banyak pengunjung yang datang ke makam beliau untuk berziarah sekaligus berwisata. Bukan saja dari dalam pulau Jawa tetapi juga banyak peziarah yang datang dari luar Jawa.

SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga atau Susuhunan Kalijaga merupakan seorang tokoh Wali Songo. Beliau dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.

Sunan Kalijaga dilahirkan di Tuban pada abad ke 14. Beliau lahir dari keluarga bangsawan Tuban, yakni dari seorang bupati yang bernama Tumenggung Wilatikta dan istrinya yang bernama Dewi Nawangrum. Sunan Kalijaga memiliki nama kecil Raden Sahid atau sering dieja dengan Raden Said.

Jika dirunut akan silsilah dari kakeknya, Sunan Kalijaga masih memiliki silsilah dengan Abbas bin Abdul Mutholib, paman dari Nabi Muhammad SAW.

Makam Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga diyakini sebagai wali tertua yang pernah hidup di tanah Jawa. Alasannya, karena beliau berusia lebih dari 100 tahun. Beliau ikut mendirikan Masjid Agung Demak, MasjidAgung Sang Cipta Rasa Cirebon, serta menciptakan tatanan pusat kota berupa keraton, alun-alun, beringin kurung dan masjid.

Menurut cerita, sebelum menjadi Wali Songo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan di kerajaannya. Hasil curian dan rampokanya itu dibagikan kepada fakir miskin. Suatu hari saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang, yang pada akhirnya menjadi guru Sunan Kalijaga.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.

Sunan Kalijaga diperkirakan wafat pada tahun 1592 M. Makamnya selalu ramai dipadati para pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri. Biasanya wisatawan akan mengunjungi pada saat peringatan hari besar keagamaan, seperti tanggal 1 Muharram dan di bulan suci Ramadan.  Lokasi makam Sunan Kalijaga berada di Jalan Raden Sahid Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak Jawa Tengah.

SUNAN MURIA
Sunan Muria adalah ulama yang termasuk dalam anggota dewan Wali Songo. Nama lahirnya adalah Umar Said. Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria dikenal sebagai sosok yang lebih mudah untuk mendekati kaum seperti nelayan, pedagang dan juga rakyat jelata. Dalam dakwahnya beliau memutuskan untuk pergi ke pelosok daerah dan jauh dari hiruk pikuk kota. Tempat tinggal beliau pada saat itu adalah di puncak Gunung Muria, tepatnya di desa Colo. 

Di Gunung Muria beliau tidak hanya mengajarkan ilmu agama Islam, melainkan juga keterampilan dalam bertani, melaut, dan berdagang. Itulah mengapa Sunan Muria sangat mudah dalam mendekati kaum nelayan, petani, dan juga pedagang.

Makam Sunan Muria

Banyak sekali metode dakwah yang dipakai oleh Sunan Muria dalam menyebarkan agama Islam saat itu. Beberapa metode tersebut adalah Topo Ngeli, Akulturasi Budaya, Gamelan, Wayang dan Tembang Jawa.

Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung yang terletak di sebelah utara kota Kudus Jawa Tengah, tempat Sunan Muria dimakamkan. Sunan Muria wafat pada tahun 1560 M.

Makam Sunan Muria cukup karena berlokasi di lereng Gunung. Akses ke lokasi makam lumayan berat karena berada di puncak sebuah bukit. Makamnya merupakan salah satu bukti arkeologis yang berkenaan dengan masa awal perkembangan Islam di Jawa, khususnya di wilayah Kudus, Pati dan sekitarnya. Makamnya berada di puncak Gunung Muria, tepatnya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, sekitar 1600 meter dari permukaan laut.

Meskipun medannya cukup sulit, tetapi setiap harinya makam Sunan Muria banyak dikunjungi para peziarah yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

SUNAN GUNUNG JATI
Sunan Gunung Jati yang lahir dengan nama Syarif Hidayatulloh adalah salah satu tokoh Wali Songo penyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan tutup usia pada tahun 1568 M.

Selain sebagai penyebar agama Islam, Sunan Gunung Jati juga sempat diangkat sebagai Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 M. Beliau lebih dikenal sebagai Sayyid Al-Kamil, putra dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran.

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatulloh bersama Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten, yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten. Dalam syiarnya beliau menjelaskan bahwa arti jihad tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh saja, namun juga perang melawan hawa nafsu. Penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan Pucuk Umun, penguasa Wahanten Pasisir. 

Makam Sunan Gunung Jati

Di Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung Anten (putri dari Sang Surosowan). Keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam, namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Beberapa sumber menginformasikan saat jatuhnya ibu kota Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1568 M. Saat itu Sunan Gunung Jati memberi dua pilihan kepada Pajajaran. Para pembesar yang masuk Islam dipertahankan kedudukan dan gelarnya dan tetap di keraton masing-masing. Sebagian besar Pangeran dan Putri Raja memilih ini. Yang tidak masuk Islam harus pindah ke pedalaman Banten. Panglima dan Pasukan Kawal Istana sebanyak 40 orang memilih pergi ke Cibeo dan menjadi leluhur penduduk Baduy Dalam.

Makam Sunan Gunung Jati terletak hanya 4,5 km dari Stasiun Cirebon. Tepatnya di Jalan Alun-Alun Ciledug Nomor 53 Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon. Kompleks Makam Sunan Gunung Jati memiliki 9 pintu utama atau lawang sanga. Sampai saat ini banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah setiap hari.  Mereka bertujuan untuk berziarah dan berwisata melihat langsung peninggalan bersejarah Sunan Gunung Jati.

Sumber Referensi:

  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gresik
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Sanga
  • https://jatim.inews.id/berita/makam-sunan-ampel
  • https://validnews.id/kultura/makam-sunan-ampel-wisata-religi-yang-tak-pernah-sepi
  • https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/ziarah-makam-sunan-bonang-maestro-budaya-pencipta-tembang-tombo-ati/
  • https://www.detik.com/jatim/wisata/d-5960172/makam-dan-peninggalan-sunan-drajat-di-lamongan
  • https://jatim.antaranews.com/berita/160064/wisata-religi-makam-sunan-giri-berwajah-baru
  • https://jateng.inews.id/berita/makam-sunan-kalijaga
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria
  • https://www.el-azzam.com/sejarah-lengkap-makam-sunan-muria-kudus/
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati